DIBAWAH KETIAK IMPERIALISME DAN FEODALISME
-= Front Mahasiswa Nasional - Demokrasi Nasional =- :: Home :: Diskusi :: Ekonomi, Politik, Hukum, dan Sosial
Page 1 of 1
DIBAWAH KETIAK IMPERIALISME DAN FEODALISME
Masih teringat jelas dalam benak Rakyat Indonesia ketika Rezim SBY-Budiono begitu membanggakan berbagai program yang telah dicapai dalam peringatan 100 hari permerintahan ini yang dibantu para menteri yang tergabung dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Berbagai program yang di gembargemborkan memiliki keberhasilan seharusnya memiliki efek yang dirasakan oleh rakyat, tapi kenyataannya rakyat tidak mendapat apapun efek dari program yang diklaim SBY sukses. Program Kredit Usaha Rakyat yang besarnya Rp 20 triliun dengan masa pinjaman 5 tahun sama sekali tidak efektif dan mampu diserap oleh rakyat akibat bunganya yang begitu tinggi yaitu 22 %. kemudian dalam sektor pertanahan Pembagian satu juta sertifikat tanah oleh SBY kepada rakyat tidak lebih merupakan skema sertifikasi tanah yang diprogramkan oleh SBY dalam program Land reform palsu yang telah ditolak oleh kaum tani .
Dalam skema ini, tanah-tanah rakyat yang selama ini dirampas oleh perusahaan besar baik swasta maupun negara, asing maupun domestik termasuk termasuk juga aparatur negara, lembaga negara dan tuan tanah perseorangan yang menjadi sumber konflik agraria berlarut-larut tidak pernah disebut-sebut dalam program ini. Praktis, situasi penguasaan tanah secara monopoli yang selama ini berlaku luas di Indonesia tidak akan terkoreksi atau mengalami perubahan secara mendasar. Tetap saja Kaum tani harus berjuang mati-matian untuk mempertahankan tanahnya yang hanya tinggal sejengkal dari keserakahan tuan-tuan tanah feodal, perkebunan-perkebunan dan tambang-tambang milik asing maupun borjuasi komprador.
Dalam program penyediaan tenaga kesehatan SBY mengklaim mampu membangun layanan kesehatan di 131 daerah terpencil, kenyataannya di berbagai rumah sakit banyak pasien dari warga miskin yang ditolak meskipun terdaftar seba-gai peserta Jamkesmas. Di sering terdengar adanya perlakuan yang berbeda bagi pasien dari kalangan kaya dengan rakyat miskin yang rumah sakit – rumah sakit.
Klaim SBY dalam mengatasi krisis listrik dengan mega proyek 10.000 MW menjadi ironi tersendiri ketika 30.000 desa belum teraliri listrik, apalagi pembangunan proyek ini sangat mengandalkan penanaman investasi asing. Sehingga sangat jelas peruntukan mega proyek 10.000 MW dipersembahkan untuk para investor yang membutuhkan listrik untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia serta di dukung dengan pembangunan infrastruktur yang terus dilakukan. Sedangkan keberhasilan proyek pembangunan banjir kanal timur dan percepatan pembangunan jalan tol lintas jawa hanya menyisakan derita memilukan bagi rakyat karena tanahnya terpaksa digusur dan dirampas.
Dalam rentang 100 hari masa berkuasanya SBY yang kedua kalinya ini, kelas buruh tetap harus menanggung beban krisis yang ditimpakan oleh negara-negara imperialisme. Dengan cara PHK, pengurangan upah dan jaminan-jaminan sosial lainnya, efisiensi biaya produksi salah satunya dengan diberlakukannya sistem kerja kontrak dan outsourching. Buruh migrant tetap harus bekerja keras untuk menghasilkan remitant bagi negara tanpa jaminan perlindunan sama sekali dari pemerintahannya, bahkan dengan bangga SBY menginginkan export labour ke luar negeri terus ditingkatkan, di tengah ketidakmampuan rejim menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi pemuda dan rakyat Indonesia. Di sisi lain rejim SBY bahkan tetap memberlakukan ACFTA dengan ditandai dengan penandatan-gan perjanjian bilateral Indonesia dengan China ditengah jeritan dari pengusaha dalam negeri yang siap-siap gulung tikar.
SBY-Boediono adalah rejim yang mewakili kelas borjuasi komprador yang setia melayani kepentingan tuannya imperialis, terutama AS. Maka dengan demikian, tidak akan ada satu niatpun bagi SBY-Boediono untuk mengabdikan dirinya untuk mensejahterakan rakyatnya. Setiap kebijakan yang diambilnya hanya mewakili kepentingan kelasnya. Dengan mengabdi kepada kepentingan tuannya imperialis, maka dia akan mengambil keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Dengan wataknya yang korup, maka setiap program yang dikeluarkan tidak satupun yang akan bebas dari tindakan koruptif.
Di balik klaim keberhasilan program 100 hari yang dilakukan SBY-Boediono dengan kabinetnya, SBY-Boediono ternyata sama sekali tidak berani mempertanggungjawabkan skandal Century yang sampai kini belum terselesaikan. Dengan mudah memberikan komentar untuk tidak mengkriminalisasikan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Padahal program pemberantasan korupsi dan mafia hukum masuk dalam agenda utama program 100 harinya. SBY telah tidak konsisten dengan kebijakan yang dibuatnya sendiri.
Di sektor pendidikan, beberapa klaim keberhasilan yang disampaikan oleh Mendiknas antara lain kesuksesan pengadaan internet di 18.358 sekolah sebagian besar tersambung di Jawa Timur sebanyak 4.805 sekolah sedangkan di Papua Barat dan Maluku Utara belum dijangkau karena kekurangan sarana dan prasarana. Program yang lain adalah pemberian beasiswa kepada siswa dan mahasiswa yang tidak mampu.
Beasiswa ini menjangkau 3 juta siswa dan mahasiswa dengan besar anggaran 1,5 trilliun. Beasiswa tersebut kemudian dibagikan kepada 1.796.800 siswa SD (Rp 677,261 M), 751.193 siswa SMP (Rp 413.156 M), 248.124 siswa SMA (RP 193,537 M) dan 305.535 siswa SMK (Rp 251,484 M) dan 211.967 mahasiswa (Rp 635.901 M). program bidik misi menganggarkan Rp 200 M untuk 20.000 mahasiswa kurang mampu. Sedangkan alokasi untuk BOS naiknya tidak terlalu signifikan, yaitu dengan unit cost BOS per tahun untuk SD kabu-paten Rp 397 ribu, SD kota Rp 400 ribu, SMP kabupaten Rp 570 ribu dan SMP kota 575 ribu.
Program pencabutan UU BHP tidak masuk dalam agenda program 100 hari Mendiknas, maka sekolah-sekolah dan PT-PT yang mempunyai modal kecil hingga tidak mampu menyediakan syarat-syarat secara administratif seperti ketentuan UU BHP hanya tinggal gulung tikar atau merger. Jumlahnya, tidak hanya puluhan tetapi ada ribuan yang terancam. Sementara sekolah-sekolah dan PT-PT yang mempunyai cukup modal dan nama, hanya tinggal menaikkan tarif per unit biaya pendidikan. Saling berlomba-lomba menjaring siswa atau mahasiswa sebanyak mungkin dengan menawarkan fasilitas dengan harga-harga yang berbeda-beda. bagi yang kaya bisa masuk, yang miskin harus terhempas kalah dalam persaingan dan sedikit di antaranya harus mengurus persyaratan-persyaratan rumit yang harus dipenuhi untuk mendapatkan beasiswa.
Tren kenaikan biaya pendidikan tidak hanya terjadi di perguruan tinggi (di mana sudah bukan menjadi rahasia lagi ada berbagai jalur masuk yang disediakan oleh PT dengan harga yang bervariatif hingga mencapai ratusan juta rupiah), tetapi juga terjadi di sekolah-sekolah bahkan pendidikan anak usia dini. Sekolah sudah dibeda-bedakan dalam konsep bertaraf nasional dan internasional. Jika sudah mampu mencapai taraf internasional, dia tidak lagi mendapatkan subsidi dari pemerintah dan dianggap sebagai proyek percontohan kemandirian sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan. Dengan kata lain, lepasnya tanggung jawab negara atas pendidikan untuk rakyat adalah tujuan utama penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Mahalnya biaya pendidikan dan ketidakmamapuan anak-anak petani dan buruh untuk mendapatkan pendidikan adalah harga yang harus dibayar untuk mewujudkan ambisi pemerintah melakukan komersialisasi dan privatisasi pendidikan.
Dalam skema ini, tanah-tanah rakyat yang selama ini dirampas oleh perusahaan besar baik swasta maupun negara, asing maupun domestik termasuk termasuk juga aparatur negara, lembaga negara dan tuan tanah perseorangan yang menjadi sumber konflik agraria berlarut-larut tidak pernah disebut-sebut dalam program ini. Praktis, situasi penguasaan tanah secara monopoli yang selama ini berlaku luas di Indonesia tidak akan terkoreksi atau mengalami perubahan secara mendasar. Tetap saja Kaum tani harus berjuang mati-matian untuk mempertahankan tanahnya yang hanya tinggal sejengkal dari keserakahan tuan-tuan tanah feodal, perkebunan-perkebunan dan tambang-tambang milik asing maupun borjuasi komprador.
Dalam program penyediaan tenaga kesehatan SBY mengklaim mampu membangun layanan kesehatan di 131 daerah terpencil, kenyataannya di berbagai rumah sakit banyak pasien dari warga miskin yang ditolak meskipun terdaftar seba-gai peserta Jamkesmas. Di sering terdengar adanya perlakuan yang berbeda bagi pasien dari kalangan kaya dengan rakyat miskin yang rumah sakit – rumah sakit.
Klaim SBY dalam mengatasi krisis listrik dengan mega proyek 10.000 MW menjadi ironi tersendiri ketika 30.000 desa belum teraliri listrik, apalagi pembangunan proyek ini sangat mengandalkan penanaman investasi asing. Sehingga sangat jelas peruntukan mega proyek 10.000 MW dipersembahkan untuk para investor yang membutuhkan listrik untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia serta di dukung dengan pembangunan infrastruktur yang terus dilakukan. Sedangkan keberhasilan proyek pembangunan banjir kanal timur dan percepatan pembangunan jalan tol lintas jawa hanya menyisakan derita memilukan bagi rakyat karena tanahnya terpaksa digusur dan dirampas.
Dalam rentang 100 hari masa berkuasanya SBY yang kedua kalinya ini, kelas buruh tetap harus menanggung beban krisis yang ditimpakan oleh negara-negara imperialisme. Dengan cara PHK, pengurangan upah dan jaminan-jaminan sosial lainnya, efisiensi biaya produksi salah satunya dengan diberlakukannya sistem kerja kontrak dan outsourching. Buruh migrant tetap harus bekerja keras untuk menghasilkan remitant bagi negara tanpa jaminan perlindunan sama sekali dari pemerintahannya, bahkan dengan bangga SBY menginginkan export labour ke luar negeri terus ditingkatkan, di tengah ketidakmampuan rejim menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi pemuda dan rakyat Indonesia. Di sisi lain rejim SBY bahkan tetap memberlakukan ACFTA dengan ditandai dengan penandatan-gan perjanjian bilateral Indonesia dengan China ditengah jeritan dari pengusaha dalam negeri yang siap-siap gulung tikar.
SBY-Boediono adalah rejim yang mewakili kelas borjuasi komprador yang setia melayani kepentingan tuannya imperialis, terutama AS. Maka dengan demikian, tidak akan ada satu niatpun bagi SBY-Boediono untuk mengabdikan dirinya untuk mensejahterakan rakyatnya. Setiap kebijakan yang diambilnya hanya mewakili kepentingan kelasnya. Dengan mengabdi kepada kepentingan tuannya imperialis, maka dia akan mengambil keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Dengan wataknya yang korup, maka setiap program yang dikeluarkan tidak satupun yang akan bebas dari tindakan koruptif.
Di balik klaim keberhasilan program 100 hari yang dilakukan SBY-Boediono dengan kabinetnya, SBY-Boediono ternyata sama sekali tidak berani mempertanggungjawabkan skandal Century yang sampai kini belum terselesaikan. Dengan mudah memberikan komentar untuk tidak mengkriminalisasikan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Padahal program pemberantasan korupsi dan mafia hukum masuk dalam agenda utama program 100 harinya. SBY telah tidak konsisten dengan kebijakan yang dibuatnya sendiri.
Di sektor pendidikan, beberapa klaim keberhasilan yang disampaikan oleh Mendiknas antara lain kesuksesan pengadaan internet di 18.358 sekolah sebagian besar tersambung di Jawa Timur sebanyak 4.805 sekolah sedangkan di Papua Barat dan Maluku Utara belum dijangkau karena kekurangan sarana dan prasarana. Program yang lain adalah pemberian beasiswa kepada siswa dan mahasiswa yang tidak mampu.
Beasiswa ini menjangkau 3 juta siswa dan mahasiswa dengan besar anggaran 1,5 trilliun. Beasiswa tersebut kemudian dibagikan kepada 1.796.800 siswa SD (Rp 677,261 M), 751.193 siswa SMP (Rp 413.156 M), 248.124 siswa SMA (RP 193,537 M) dan 305.535 siswa SMK (Rp 251,484 M) dan 211.967 mahasiswa (Rp 635.901 M). program bidik misi menganggarkan Rp 200 M untuk 20.000 mahasiswa kurang mampu. Sedangkan alokasi untuk BOS naiknya tidak terlalu signifikan, yaitu dengan unit cost BOS per tahun untuk SD kabu-paten Rp 397 ribu, SD kota Rp 400 ribu, SMP kabupaten Rp 570 ribu dan SMP kota 575 ribu.
Program pencabutan UU BHP tidak masuk dalam agenda program 100 hari Mendiknas, maka sekolah-sekolah dan PT-PT yang mempunyai modal kecil hingga tidak mampu menyediakan syarat-syarat secara administratif seperti ketentuan UU BHP hanya tinggal gulung tikar atau merger. Jumlahnya, tidak hanya puluhan tetapi ada ribuan yang terancam. Sementara sekolah-sekolah dan PT-PT yang mempunyai cukup modal dan nama, hanya tinggal menaikkan tarif per unit biaya pendidikan. Saling berlomba-lomba menjaring siswa atau mahasiswa sebanyak mungkin dengan menawarkan fasilitas dengan harga-harga yang berbeda-beda. bagi yang kaya bisa masuk, yang miskin harus terhempas kalah dalam persaingan dan sedikit di antaranya harus mengurus persyaratan-persyaratan rumit yang harus dipenuhi untuk mendapatkan beasiswa.
Tren kenaikan biaya pendidikan tidak hanya terjadi di perguruan tinggi (di mana sudah bukan menjadi rahasia lagi ada berbagai jalur masuk yang disediakan oleh PT dengan harga yang bervariatif hingga mencapai ratusan juta rupiah), tetapi juga terjadi di sekolah-sekolah bahkan pendidikan anak usia dini. Sekolah sudah dibeda-bedakan dalam konsep bertaraf nasional dan internasional. Jika sudah mampu mencapai taraf internasional, dia tidak lagi mendapatkan subsidi dari pemerintah dan dianggap sebagai proyek percontohan kemandirian sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan. Dengan kata lain, lepasnya tanggung jawab negara atas pendidikan untuk rakyat adalah tujuan utama penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Mahalnya biaya pendidikan dan ketidakmamapuan anak-anak petani dan buruh untuk mendapatkan pendidikan adalah harga yang harus dibayar untuk mewujudkan ambisi pemerintah melakukan komersialisasi dan privatisasi pendidikan.
furqon- Moderator
- Posts : 3
Join date : 2009-09-23
-= Front Mahasiswa Nasional - Demokrasi Nasional =- :: Home :: Diskusi :: Ekonomi, Politik, Hukum, dan Sosial
Page 1 of 1
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum